Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram
Raja-Raja Mataram Islam :
1. Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717-746 M) 2. Rakai Panangkaran Dyah Sankhara (746-784 M)
3. Rakai Panunggalan/Dharanindra (784-803 M)
4. Rakai Warak Dyah manara (803-827 M)
5. Dyah Gula (827-828)
6. Rakai Garung (828-847 M)
7. Rakai Pikatan Dyah Saladu (847-855 M)
8. Rakai Kayuwangi Dyah Lokapala (855-885 M)
9. Dyah Tagwas (885)
10. Rakai Panumwangan Dyah Dawendra (885-887 M)
11. Rakai Gurunwangi Dyah Wadra (887 M)
12. Rakai watuhumalang Dyah Jbang (894-898 M)
13. Rakai watukura Dyah Walitung (898-913 M)
Raja Sanjaya meninggal pada tahun 746 M. Ia diganti oleh Rakai
Panangkaran. Pada masa pemerintahan Rakai Panangkaran agama Buddha mulai
berkembang di Mataram. Dalam prasasti Sankhara (sekitar abad ke-8) yang
ditemukan di Sragen (Jawa Tengah), tertulis bahwa Rakai Panangkran
telah berpindah dari agama Siwa ke agama Buddha. Ia mendirikan candi
Kalasan untuk menghormati dewi Tara. Ia juga membangun biara untuk para
bhiksu dan bhiksuni buddha. Sejak saat itu keluarga kerajaan ada yang
beragama Hindu dan ada pula yang beragama Buddha. Mereka yang beragama
Hindu tinggal di jawa Tengah bagian utara, sedangkan yang menganut agama
Buddha berada di wilayah jawa Tengah bagian Selatan.
Agama Buddha mengalami perkembangan yang amat pesat pada masa pemerintahan Samaratungga, anak dari Rakai Panangkaran. Nama samaratungga tidak tercatat dalam silsilah Raja yang tertuang dalam prasasti Mantyasih. Ia diketahui namanya dalam prasasti Nalanda dan prasasti Kayumwungan (824 M). Pada tahun 824 Masehi, ia berhasil membangun Candi Borobudur untuk para penganut agama Buddha. Bangunan ini terdiri atas 10 tingkat yang melambangkan makna bahwa kesempurnaan hidup akan dicapai setelah melampaui 10 tingkatan.
Candi Borobudur menjadi salah satu objek wisata Indonesia yang potensial. Keunikan dari candi tersebut dapat dilihat dari relief, stupa, dan seni arsitektur yang menggunakan bahan tanpa semen, hanya tumpukan batu-batu besar.
Samaratungga mempunyai anak yang bernama Pramodhawardani dan Balaputeradewa. Samaratungga menikahkan ramodhawardani dengan Rakai Pikatan. Balaputeradewa tidak menyetujui perkawinan tersebut karena terancam kedudukannya sebagai putera mahkota Syailendra. Oleh karena itu, timbullah perselisihan antara Balaputeradewa dan Pramodhawardani yang dibantu rakai Pikatan. Dalam pertikaian itu, Balaputeradewa menderita kekalahan sehingga melarikan diri ke Sumatera. Kelak ia menjadi Raja Kerajaan Sriwijaya.
Semenjak Rakai pikatan berkuasa, Kerajaan Mataram menjadi damai dan makmur. Umat hindu dan buddha hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Toleransi kehidupan beragama terwujud dalam pembangunan dan pemeliharaan candi-candi secara bergotong royong.
Kerajaan mataram kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah disebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh karena itu, daerah kekuasaan Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur).
Sepeninggal Raja Balitung kerajaan Mataram kuno diperintah oleh raja-raja, yakni Daksa (910-919 M), Tulodong (919-924 M), dan Wawa (924-929 M). Namun, tidak ada sumber berarti yang dapat menerangkan peran ketiga nama tersebut.
Pada tahun 929 pusat kerajaan Mataram kuno dipindahkan ke Watugaluh (Jawa Timur) oleh Mpu Sindok. Ia dianggap sebagai pendiri dinasti Isyana. Menurut para sejarawan, perpindahan pusat kerajaan itu dilakukan karena wilayah Maram ditimpa bencana letusan gunung berapi. Masa pemerintahan Mpu Sindok berlangsung aman dan tenteram. Mpu Sindok seringkali memberikan bantuan bagi pembangunan tempat-tempat suci. Dalam bidang sastra muncul kitab suci agama Buddha Tantrayana, yaitu sang Hyang Kamahayanikan.
Pengganti Mpu sindok ialah Raja Dharmawangsa. Demi berbuat bagi kesejahteraan hidup rakyatnya, Dharmawangsa berupaya menguasai jalur perdagangan dan pelayaran yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 990 ia mengirim tentaranya ke Sumatera dan Semenanjung Malaka. Misi pasukannya berhasil menaklukkan beberapa daerah pantai di Sriwijaya. Upaya Dharmawangsa diangggap telah membawa kemajuan yang berarti bagi Kerajaannya.
Agama Buddha mengalami perkembangan yang amat pesat pada masa pemerintahan Samaratungga, anak dari Rakai Panangkaran. Nama samaratungga tidak tercatat dalam silsilah Raja yang tertuang dalam prasasti Mantyasih. Ia diketahui namanya dalam prasasti Nalanda dan prasasti Kayumwungan (824 M). Pada tahun 824 Masehi, ia berhasil membangun Candi Borobudur untuk para penganut agama Buddha. Bangunan ini terdiri atas 10 tingkat yang melambangkan makna bahwa kesempurnaan hidup akan dicapai setelah melampaui 10 tingkatan.
Candi Borobudur menjadi salah satu objek wisata Indonesia yang potensial. Keunikan dari candi tersebut dapat dilihat dari relief, stupa, dan seni arsitektur yang menggunakan bahan tanpa semen, hanya tumpukan batu-batu besar.
Samaratungga mempunyai anak yang bernama Pramodhawardani dan Balaputeradewa. Samaratungga menikahkan ramodhawardani dengan Rakai Pikatan. Balaputeradewa tidak menyetujui perkawinan tersebut karena terancam kedudukannya sebagai putera mahkota Syailendra. Oleh karena itu, timbullah perselisihan antara Balaputeradewa dan Pramodhawardani yang dibantu rakai Pikatan. Dalam pertikaian itu, Balaputeradewa menderita kekalahan sehingga melarikan diri ke Sumatera. Kelak ia menjadi Raja Kerajaan Sriwijaya.
Semenjak Rakai pikatan berkuasa, Kerajaan Mataram menjadi damai dan makmur. Umat hindu dan buddha hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Toleransi kehidupan beragama terwujud dalam pembangunan dan pemeliharaan candi-candi secara bergotong royong.
Kerajaan mataram kuno mencapai puncak kejayaannya pada masa kepemimpinan Raja Balitung (898-910 M). Di masa kekuasaannya, daerah-daerah disebelah timur Mataram berhasil ditaklukkannya. Oleh karena itu, daerah kekuasaan Mataram semakin luas, yang meliputi Bagelen (Jawa Tengah) sampai Malang (Jawa Timur).
Sepeninggal Raja Balitung kerajaan Mataram kuno diperintah oleh raja-raja, yakni Daksa (910-919 M), Tulodong (919-924 M), dan Wawa (924-929 M). Namun, tidak ada sumber berarti yang dapat menerangkan peran ketiga nama tersebut.
Pada tahun 929 pusat kerajaan Mataram kuno dipindahkan ke Watugaluh (Jawa Timur) oleh Mpu Sindok. Ia dianggap sebagai pendiri dinasti Isyana. Menurut para sejarawan, perpindahan pusat kerajaan itu dilakukan karena wilayah Maram ditimpa bencana letusan gunung berapi. Masa pemerintahan Mpu Sindok berlangsung aman dan tenteram. Mpu Sindok seringkali memberikan bantuan bagi pembangunan tempat-tempat suci. Dalam bidang sastra muncul kitab suci agama Buddha Tantrayana, yaitu sang Hyang Kamahayanikan.
Pengganti Mpu sindok ialah Raja Dharmawangsa. Demi berbuat bagi kesejahteraan hidup rakyatnya, Dharmawangsa berupaya menguasai jalur perdagangan dan pelayaran yang saat itu dikuasai oleh kerajaan Sriwijaya. Pada tahun 990 ia mengirim tentaranya ke Sumatera dan Semenanjung Malaka. Misi pasukannya berhasil menaklukkan beberapa daerah pantai di Sriwijaya. Upaya Dharmawangsa diangggap telah membawa kemajuan yang berarti bagi Kerajaannya.
Pada tahun 1016 kekuasaan Dharmawangsa dilanda malapetaka yang mengerikan. Ketika ia sedang menikahkan putrinya dengan Airlangga (Putera mahkota kerajaan Bali), tiba-tiba istana kerajaan diserang oleh tentara Wurawari, raja bawahan Dharmawangsa yang dihasut Sriwijaya. Dalam peristiwa ini hampir semua pembesar kerajaan Mataram kuno gugur. Peristiwa penyerbuan Raja Wurawati terhadap kekuasaan Raja Dharmawangsa ini terkenal dengan sebutan Pralaya Medang.
Pada tahun 1019 Airlangga dinobatkan menjadi raja oleh para pendeta buddha dan para brahmana dengan gelar sri Maharaja Rake Halu Sri lokeswara Dharmawangsa Airlangga Anantawikramotunggadewa. Pada permulaan pemerintahannya, kerajaan diguncang berbagai peperangan yang hebat. Perang yang berkecamuk, misalnya perang menghadapi Raja Bhismaprabhawa, Raja Wengker, dan seseorang ratu di daerah selatan Tulungagung. Semua peperangan ini dimenangkan pihak Airlangga. Bahkan pada tahun 1033 Airlangga berhasil membalaskan kematian mertuanya dengan mengalahkan Raja Wurawati. Sejak saat itu, Airlangga mempersatukan kerajaan yang telah terpecah-pecah untuk memulai upaya pembangunan negerinya.Pada bidang pemerintahan, Airlangga melakukan perombakan dengan mengangkat orang-orang yang berjasa kepadanya. Dalam bidang ekonomi, Airlangga memerintahkan membangun waduk di daerah Sungai Brantas. Di bidang sastra, muncul karya-karya bermutu, seperti kitab Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa. Di bidang sosial, banyak dibangun tempat-tempat suci, pertapaan, dan asrama-asrama pendeta. Semua upaya pembangunan negeri hanya ditujukan demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Airlangga merupakan seorang raja yang bijaksana. Tatkala puteri mahkota, Sanggramawijaya Dharma Prasadottuggadewi menolak menggantikan takhta Kerajaan, Airlangga tidak lantas marah. Ia justru membangun sebuah pertapaan dii pucangan karena puterinya itu memilih penghidupan sebagai petapa. Selanjutnya, Airlangga menemui kesulitan yang disebabkan Putera Dharmawangsa, Samarawijya menuntut hak atas kerajaan Mataram. Di lain pihak putera Airlangga yang kedua, yaitu Mapanji Garasakan menginginkan pula takhta kerajaan. Hal ini mungkin berakibat timbulnya perebutan kekuasaan.
Pada tahun 1041 M Airlangga memutuskan untuk membagi kerajaannya menjadi dua. Pembagian kerajaan itu dilakukan seorang brahmana yang terkenal kesaktiannya, yakni Mpu Barada. Dua kerajaan itu ialah Janggala dengan ibukota kahuripan dan kerajaan Panjalu dengan ibukota daha. Delapan tahun sesudah pembagian kerajaan, Airlangga wafat. Rakyat kemudian membangun patung Airlangga yang mengendarai burung garuda sebagai kenag-kenangan dan penghormatan atas jasa-jasa yang selama ini telah dilakukan oleh Airlangga terhadap kerajaan Raden Sutawijaya naik tahta setelah ia merebut wilayah Pajang sepeninggal Hadiwijaya dengan gelar Panembahan Senopati. Pajang kemudian dijadikan salah satu wilayah bagian dari Mataram yang beribukota di Kotagede. Senopati bertahta sampai wafat pada tahun 1601. Selama pemerintahannya boleh dikatakan terus-menerus berperang menundukkan bupati-bupati daerah. Kasultanan Demak menyerah, Ponorogo, Pasuruan, Kediri, Surabaya, berturut-turut direbut. Cirebon pun berada di bawah pengaruhnya. Panembahan Senopati dalam babad dipuji sebagai pembangun Mataram.
Setelah Panembahan Senopati meninggal kekuasaannya digantikan oleh anaknya yang bernama Mas Jolang atau Panembahan Seda Krapyak. Jolang hanya memerintah selama 12 tahun (1601-1613), tercatat bahwa pada pemerintahannya beliau membangun sebuah taman Danalaya di sebelah barat kraton. Pemerintahannya berakhir ketika beliau meninggal di hutan Krapyak ketika beliau sedang berburu. Selanjutnya bertahtalah Mas Rangsang, yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusumo. Di bawah pemerintahannya (tahun 1613-1645) Mataram mengalami masa kejayaan. Ibukota kerajaan Kotagede dipindahkan ke Kraton Plered. Sultan Agung juga menaklukkan daerah pesisir supaya kelak tidak membahayakan kedudukan Mataram. Beliau juga merupakan penguasa yang secara besar-besaran memerangi VOC yang pada saat itu sudah menguasai Batavia. Karya Sultan Agung dalam bidang kebudayaan adalah Grebeg Poso dan Grebeg Maulud. Sultan Agung meninggal pada tahun 1645.
Beliau digantikan oleh putranya yang bergelar Amangkurat I. Amangkurat I tidak mewarisi sifat-sifat ayahnya. Pemerintahannya yang berlangsung tahun 1645-1676 diwarnai dengan banyak pembunuhan dan kekejaman. Pada masa pemerintahannya ibukota kerajaan Mataram dipindahkan ke Kerta. Pada tahun 1674 pecahlah Perang Trunajaya yang didukung para ulama dan bangsawan, bahkan termasuk putra mahkota sendiri. Ibukota Kerta jatuh dan Amangkurat I (bersama putra mahkota yang akhirnya berbalik memihak ayahnya) melarikan diri untuk mencari bantuan VOC. Akan tetapi sampai di Tegalarum, (dekat Tegal, Jawa Tengah) Amangkurat I jatuh sakit dan akhirnya wafat.
Kemudian beliau digantikan oleh putra mahkota yang bergelar Amangkurat II atau dikenal juga dengan sebutan Sunan Amral. Sunan Amangkurat II bertahta pada tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC, dan sebagai konpensasinya VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.
Setelah Sunan Amangkurat II meninggal pada tahun 1703, Ia digantikan oleh putranya yang bernama Sunan Mas (Sunan Amangkurat III). Beliau sangat menentang VOC. Karena pertentangan tersebut VOC tidak setuju atas pengangkatan Sunan Amangkurat III sehingga VOC kemudian mengangkat Paku Buwono I (Pangeran Puger). Pecahlah perang saudara (Perang Perebutan Mahkota I) antara Amangkurat III dan Paku Buwana I, namun Amangkurat III menyerah dan dibuang ke Sailan oleh VOC. Paku Buwana III meninggal tahun 1719 dan diganti oleh Amangkurat IV (1719-1727). Dalam pemerintahannya dipenuhi dengan pemberontakan para bangsawan yang menentangnya, dalam hal ini VOC kembali turut andil di dalamnya. Sehingga kembali pecah perang Perebutan Mahkota II (1719-1723). Sunan Prabu atau Sunan Amangkurat IV meninggal tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buwana II (1727-1749). Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan China terhadap VOC.
Paku Buwana II memihak China dan turut membantu memnghancurkan benteng VOC di Kartasura. VOC yang mendapat bantuan Panembahan Cakraningrat dari Madura berhasil menaklukan pemberontak China. Hal ini membuat Paku Buwana II merasa ketakutan dan berganti berpihak kepada VOC. Hal ini menyebabkan timbulnya pemberontakan Raden Mas Garendi yang bersama pemberontak China menggempur kraton, hingga Paku Buwana II melarikan diri ke Ponorogo. Dengan bantuan VOC Kraton dapat direbut kembali (1743) tetapi kraton telah porak poranda yang memaksanya untuk memindahkan kraton ke Surakarta (1744). Setelah itu terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Mas Said. Paku Buwana menugaskan Mangkubumi untuk menumpas kaum pemerontak dengan janji akan memberikan tanah di Sukowati (Sragen sekarang). Walaupun Mangkubumi berhasil tetapi Paku Buwono II mengingkari janjinya sehingga akhirnya dia berdamai dengan Mas Said. Mereka berdua pun melakukan pemberontakan bersama-sama hingga pecah Perang Perebutan Mahkota III (1747-1755).
Paku Buwana II tidak dapat menghadapi kekuatan mereka berdua dan akhirnya jatuh sakit dan meninggal pada tahun 1749. Setelah kematian Paku Buwana II VOC mengangkat Paku Buwana III. Pengangkatan Paku Buwana III tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan wilayah yang dikuasai Mangkubumi telah mencapai Yogya, Bagelen, dan Pekalongan. Namun justru saat itu terjadi perpecahan anatara Mangkubumi dan Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada di atas angin. VOC lalu mengutus seorang Arab dari Batavia untuk mengajak Mangkubumi berdamai. Ajakan itu diterima Mangkubumi dan terjadilah apa yang sering disebut sebagai Palihan Nagari atau Perjanjian Giyanti (1755). Isi perjanjian tersebut adalah: Mataram dibagi menjadi dua. Bagian barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang diijinkan memakai gelar Hamengku Buwana I dan mendirikan Kraton di Yogyakarta. Sedangkan bagian timur diberikan kepada Paku Buwana III. Mulai saat itulah Mataram dibagi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dengan raja Sri Sultan Hamengku Buwana I dan Kasunanan Surakarta dengan raja Sri Susuhunan Paku Buwana III.
Kehidupan Ekonomi
Letak
geografisnya yang berada di pedalaman didukung tanah yang subur,
menjadikan kerajaan Mataram sebagai daerah pertanian (agraris) yang
cukup berkembang, bahkan menjadi daerah pengekspor beras terbesar pada
masa itu. Rakyat Mataram juga banyak melakukan aktivitas perdagangan
laut. Hal ini dapat terlihat dari dikuasainya daerah-daerah pelabuhan di
sepanjang pantai Utara Jawa. Perpaduan dua unsur ekonomi, yaitu agraris
dan maritim mampu menjadikan kerajaan Mataram kuat dalam percaturan
politik di nusantara.
Kehidupan Sosial-budaya
Pada masa
pertumbuhan dan berkaitan dengan masa pembangunan,maka Sultan Agung
melakukan usaha-usaha antara lain untuk meningkatkan daerahdaerah
persawahan dan memindahkan banyak para petani ke daerah Krawang yang
subur. Atas dasar kehidupan agraris itulah disusun suatu masyarakat yang
bersifat feodal. Para pejabat pemerintahan memperoleh imbalan berupa
tanah garapan (lungguh), sehingga sistem kehidupan ini menjadi dasar
munculnya tuan-tuan tanah di Jawa.
Pada masa
kebesaran Mataram, kebudayaan juga berkembang antara lain seni tari,
seni pahat, seni sastra dan sebagainya. Di samping itu muncul Kebudayaan
Kejawen yang merupakan akulturasi antara kebudayan asli, Hindu, Buddha
dengan Islam. Upacara Grebeg yang bersumber pada pemujaan roh nenek
moyang berupa kenduri gunungan yang merupakan tradisi sejak zaman
Majapahit dijatuhkan pada waktu perayaan hari besar Islam, sehingga
muncul Grebeg Syawal pada hari raya idul Fitri.; Grebeg Maulud pada
bulan Rabiulawal. Hitungan tahun yang sebelumnya merupakan tarikh Hindu
yang didasarkan pada peredaran matahari (tarikh Samsiah) dan sejak tahun
1633 diubah menjadi tarikh Islam yang berdasarkan pada peredaran bulan
(tarikh Kamariah). Tahun Hindu 1555 diteruskan dengan perhitungan baru
dan dikenal dengan Tahun Jawa.
Adanya
suasana yang aman, damai dan tenteram, maka berkembang juga Kesusastraan
Jawa. Sultan Agung sendiri mengarang Kitab Sastra Gending yang berupa
kitab filsafat. Demikian juga muncul kitab Nitisruti, Nitisastra, dan
Astabrata yang berisi ajaran tabiat baik yang bersumber pada kitab
Ramayana.
Peninggalan Sejarah
Dalam perkembangan selanjutnya Kotagede tetap ramai meskipun sudah tidak lagi menjadi ibukota kerajaan. Berbagai peninggalan sejarah seperti makam para pendiri kerajaan, Masjid Kotagede, rumah-rumah tradisional dengan arsitektur Jawa yang khas, toponim perkampungan yang masih menggunakan tata kota jaman dahulu, hingga reruntuhan benteng bisa ditemukan di Kotagede.
- Pasar Kotagede
Tata kota kerajaan Jawa biasanya menempatkan kraton,
alun-alun dan pasar dalam poros selatan - utara. Kitab Nagarakertagama
yang ditulis pada masa Kerajaan Majapahit (abad ke-14) menyebutkan bahwa
pola ini sudah digunakan pada masa itu. Pasar tradisional yang sudah
ada sejak jaman Panembahan Senopati masih aktif hingga kini. Setiap pagi
legi dalam kalender Jawa, penjual, pembeli, dan barang dagangan
tumpah ruah di pasar ini. Bangunannya memang sudah direhabilitasi, namun
posisinya tidak berubah. Bila ingin berkelana di Kotagede, Anda bisa
memulainya dari pasar ini lalu berjalan kaki ke arah selatan menuju
makam, reruntuhan benteng dalam, dan beringin kurung.
- Kompleks Makam Pendiri Kerajaan
Berjalan 100 meter ke arah selatan dari Pasar Kotagede,
kita akan menemukan kompleks makam para pendiri kerajaan Mataram Islam
yang dikelilingi tembok yang tinggi dan kokoh. Gapura ke kompleks makam
ini memiliki ciri arsitektur Hindu. Setiap gapura memiliki pintu kayu
yang tebal dan dihiasi ukiran yang indah. Beberapa abdi dalem berbusana
adat Jawa menjaga kompleks ini 24 jam sehari.
Kita akan melewati 3 gapura sebelum sampai ke gapura terakhir yang menuju bangunan makam. Untuk masuk ke dalam makam, kita harus mengenakan busana adat Jawa (bisa disewa di sana). Pengunjung hanya diperbolehkan masuk ke dalam makam pada Hari Minggu, Senin, Kamis, dan Jumat pukul 08.00 - 16.00. Untuk menjaga kehormatan para pendiri Kerajaan Mataram yang dimakamkan di sini, pengunjung dilarang memotret / membawa kamera dan mengenakan perhiasan emas di dalam bangunan makam. Tokoh-tokoh penting yang dimakamkan di sini meliputi: Sultan Hadiwiijaya, Ki Gede Pemanahan, Panembahan Senopati, dan keluarganya.
- Masjid Kotagede
Berkelana ke Kotagede tidak akan lengkap jika tidak berkunjung ke Masjid Kotagede, masjid tertua di Jogja / Yogyakarta
yang masih berada di kompleks makam. Setelah itu tak ada salahnya untuk
berjalan kaki menyusuri lorong sempit di balik tembok yang mengelilingi
kompleks makam untuk melihat arsitekturnya secara utuh dan kehidupan
sehari-hari masyarakat Kotagede.
- Rumah Tradisional
Persis di seberang jalan dari depan kompleks makam,
kita bisa melihat sebuah rumah tradisional Jawa. Namun bila mau berjalan
50 meter ke arah selatan, kita akan melihat sebuah gapura tembok dengan
rongga yang rendah dan plakat yang yang bertuliskan "cagar budaya".
Masuklah ke dalam, di sana Anda akan melihat rumah-rumah tradisional
Kotagede yang masih terawat baik dan benar-benar berfungsi sebagai rumah
tinggal.
- Kedhaton
Berjalan ke selatan sedikit lagi, Anda akan melihat 3
Pohon Beringin berada tepat di tengah jalan. Di tengahnya ada bangunan
kecil yang menyimpan "watu gilang", sebuah batu hitam berbentuk bujur
sangkar yang permukaannya terdapat tulisan yang disusun membentuk
lingkaran: ITA MOVENTUR MUNDU S - AINSI VA LE MONDE - Z00 GAAT DE WERELD
- COSI VAN IL MONDO. Di luar lingkaran itu terdapat tulisan AD ATERN AM
MEMORIAM INFELICS - IN FORTUNA CONSOERTES DIGNI VALETE QUIDSTPERIS
INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONSTEMTU - IGM (In
Glorium Maximam). Entah apa maksudnya, barangkali Anda bisa
mengartikannya untuk kami?
Dalam bangunan itu juga terdapat "watu cantheng", tiga bola yang terbuat dari batu berwarna kekuning-kuningan. Masyarakat setempat menduga bahwa "bola" batu itu adalah mainan putra Panembahan Senapati. Namun tidak tertutup kemungkinan bahwa benda itu sebenarnya merupakan peluru meriam kuno.
- Reruntuhan Benteng
Panembahan Senopati membangun benteng dalam (cepuri)
lengkap dengan parit pertahanan di sekeliling kraton, luasnya kira-kira
400 x 400 meter. Reruntuhan benteng yang asli masih bisa dilihat di
pojok barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 kaki terbuat dari
balok batu berukuran besar. Sedangkan sisa parit pertahanan bisa dilihat
di sisi timur, selatan, dan barat.
0 komentar